Kalau sadar, film Box Office di Indonesia pasti selalu menyebut jumlah penonton yang dicapai, bukan total keuntungan seperti di Hollywood. Kira-kira kenapa ya?
Pernah ada nggak sih di pikiran kalian, kenapa film Box Office Indonesia dinilai dari penjualan tiket? Kenapa bukan pendapatan? Ini jadi hal yang menarik buat dibahas. Soalnya, di Amerika Serikat sendiri diukur dari pendapatan bukan dari penjualan tiket.
Sebenarnya bukan cuma di Indonesia…
Beberapa negara di Asia seperti Korea Selatan dan Jepang juga mengukur dari segi jumlah penonton. Bahkan, di Korea Selatan para artis biasanya akan melakukan challenge jika filmnya tembus target.
Kalau di Indonesia, biasanya langsung posting di media sosial jika sudah tembus target atau memecahkan rekor jumlah penonton. Hal semacam ini tentu memancing perhatian netizen.
Memancing perhatian netizen? Kok bisa?
Jelas bisa dong. Jadi gini, karena mayoritas netizen di Indonesia udah tau seberapa banyak jumlah penduduk di negaranya, maka akan lebih menarik kalau yang disebut adalah jumlah penonton dibanding keuntungan.
Penyebutan “Film Mencuri Raden Saleh Sudah Tembus 2 Juta Penonton” jauh lebih menarik daripada “Film Mencuri Raden Saleh Sudah Meraup 30 Miliar”. Betul nggak?
Betul sih, tapi ada penjelasan ilmiahnya nggak?
Tenang, ada kok! Sebenarnya ini berhubungan dengan kosakata yang lagi sering dipakai oleh para millenials dan juga gen z nih, yaitu FoMO (Fear of Missing Out).
Mengutip dari laman LM Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), FoMO adalah ketakutan atau kecemasan tidak terhubung, ketinggalan atau terlewat pengalaman yang dinikmati oleh orang lain.
Biasanya, seseorang dengan tingkat FoMO yang tinggi cenderung secara gigih ingin tau kegiatan-kegiatan orang lain atau yang sedang ramai dilakukan banyakan orang.
Jadi, hubungannya dengan penyebutan jumlah penonton adalah sisi psikologis, di mana orang-orang yang melihat itu merasa ‘ketinggalan’ momen yang sedang ramai terjadi. Akhirnya? ikut menonton juga.
Mungkin ini akan lain ceritanya kalau yang ditampilkan adalah keuntungan filmnya. Kayaknya nggak bakal ada yang FoMO deh.
Terus, kenapa di Amerika Serikat menggunakan keuntungan penjualan?
Karena perbedaan scoop sih. Hollywood cakupannya luas banget, seluruh dunia. Jadi lebih masuk akal ketika menyebut total keuntungan di seluruh dunia. Terasa lebih ‘Grande’ dan mata uang mereka kan Dollar yah, bukan rupiah. Jadi lebih membuat orang terkesan.
Kalau di Indonesia, fokus penjualannya cuma dalam satu negara. Menyebut “Dua Juta Penonton dalam 4 Hari” terasa lebih mewah dan mampu menunjukkan bahwa film itu sukses di Indonesia. Sesederhana itu aja sih…
Jadi, kira-kira seperti itu latar belakang kenapa film Box Office Indonesia menyebutkan jumlah penonton, bukan keuntungan yang didapat.