Analog Versus Digital: Musica Studio's, Demajors & Juni Records Buka Suara

Analog Versus Digital: Musica Studio's, Demajors & Juni Records Buka Suara

Posted: Jan 22, 2022

Era digitalisasi ini membuat kita berubah, ingin atau tidak ingin, disadari atau tidak. Mulai dari bagaimana kita bekerja sampai dengan bagaimana kita menikmati hiburan. Begitu juga dengan industri musik yang mengalami berbagai evolusi dari zaman analog hingga saat ini.

Era digitalisasi ini membuat kita berubah, ingin atau tidak ingin, disadari atau tidak. Mulai dari bagaimana kita bekerja sampai dengan bagaimana kita menikmati hiburan. Begitu juga dengan industri musik yang mengalami berbagai evolusi dari zaman analog hingga saat ini.

Untuk mengetahui berbagai perubahan tersebut, Eventori melakukan wawancara eksklusif dengan para pekerja industri musik yang sudah berkecimpung sejak era digitalisasi belum seramai ini.

 

Industri musik selalu konsisten berubah

Adryanto “Boim” Pratono, CEO Juni Records mengungkapkan, hal yang paling konsisten selama tujuh tahun ke belakang adalah perubahan.

“Hal yang paling konsisten tujuh tahun ini adalah perubahan. Waktu tahun 2014 itu boleh dibilang gua masih melalui era compact disk (CD) yang masih ada walaupun jumlahnya sudah mulai declining, terus RBT (Ring Back Tone) masih ada, tiba-tiba tahun 2015, 2016, 2017 langsung shifting,” jelas Boim.

Ia menambahkan, hal tersebut terjadi karena industri musik bukanlah pabrik, yang dapat mencetak berbagai artis dengan mudahnya. Tantangan-tantangan tersebutlah yang harus dilalui oleh para pekerja industri musik, untuk selalu belajar dan menerima perubahan.

“Karena industrinya juga berubah-ubah, menurut gua setiap saat yang kita cari adalah bentuk, dan gua percaya industri musik itu bukan seperti pabrik, yang ada molding-nya, lalu dicetak menjadi sepuluh, dua puluh, lima puluh artis.

Tidak seperti itu. Industrinya itu cair, tantangannya di situ, bagaimana caranya kita challenge diri kita, challenge tim kita, challenge company kita buat selalu belajar hal baru, terima perubahan, agar survive di industrinya,” tambahnya.

David Karto dari Demajors juga mengungkapkan hal yang serupa. Baginya kita semua sedang mencari pola untuk menyesuaikan dengan kehidupan saat ini, mencoba mengikuti arus dari proses transformasi analog menuju digital.

“Semua sedang mencari pola, jadi dengan shifting culture lifestyle dan kehidupan yang berjalan saat ini, kita coba untuk mengikuti semua arus dari proses analog menuju ke digital, habit-nya,” jelas David.

 

Perubahan terbesar di industri musik

Arlan Djoewarsa, penanggung jawab A & R (arts and repertoire) dari Musica Studio’s mengungkapkan bahwa perubahan yang sangat terasa adalah dari segi produksi. Saat ini, dengan perkembangan zaman, musisi dihadapi dengan berbagai kemudahan. Selain itu, hal lain yang juga berbeda adalah daya jangkau dari sebuah karya.

“Kalau dari sisi musisi, dari segi produksi agak lebih ribet dulu sebetulnya. Kalau sekarang banyak teknologi dimudahkan, terus perbedaan yang paling signifikan sebetulnya adalah daya jangkau lagu tersebut,” jelas Arlan.

Arlan menambahkan bahwa dahulu, daya jangkau lagu jika sudah mencapai televisi dan radio adalah sebuah kemewahan. Namun saat ini dengan adanya media sosial, seluruh penjuru dunia dapat mendengar karya dari para musisi.

“Dulu kita sangat terbatas, kalau kita bisa main di TV atau lagu kita diputar di radio itu mewah sekali, kalau sekarang dengan adanya media sosial, bahkan yang di penjuru dunia pun bisa mendengar karya kita, tinggal caranya bagaimana untuk sampai ke sana,” ungkapnya.

Menurut Boim terdapat dua hal yang sangat berbeda di era digital ini, yaitu pola distribusi dan juga pola konsumsi. Pola distribusi adalah bagaimana sebuah karya dapat sampai ke tangan pendengar, yang saat ini bahkan dengan mudahnya dapat diakses di seluruh belahan dunia.

“Hal yang sangat berubah dari dulu hingga sekarang adalah pola distribusi dan pola konsumsi. Pola distribusi sekarang sangat dimudahkan, kan? Enggak ada lagi border antara kita sebagai label dan penikmat musiknya, border-nya sudah tipis banget. Nggak ada border lintas negara, benua, lu rilis di hari ini akan langsung berbarengan rilis di region lain,” jelas Boim.

Selanjutnya pola konsumsi, yaitu bagaimana pendengar menikmati karya yang telah dibuat. Bagi Boim dahulu orang-orang membeli CD (Compact Disk) atau kaset, sedangkan saat ini cukup dengan mendengarkan lagu di layanan streaming digital. Saat ini pendengar pun memiliki kebiasaan yang berbeda, jika dahulu mendengarkan keseluruhan album, saat ini mereka lebih memilih hanya beberapa singgel.

“Pola konsumsi juga berubah. Dulu semua yang kita bicarakan adalah berapa juta copy, kayak lu bisa reach satu juta orang, dua juta orang convert langsung beli CD lu, beli kaset lu. Tapi kalau sekarang menurut gua satu juta streams itu nggak berarti lu bisa reach satu juta orang. Mungkin juga tadinya orang karena copy mereka beli lagu lu sembilan track, sepuluh track, kalau sekarang bisa jadi mereka hanya tertarik lagu lu dua track, tiga track. Menurut gua itu yang jadi pembeda terbesar apa yang gua rasakan,” tambahnya.

 

Analog versus digital

Membahas tentang analog dan digital, David Karto mengungkapkan bahwa kedua hal tersebut adalah sesuatu yang berdampingan. Bagi Demajors, mereka tidak memiliki pemikiran bahwa analog sudah tertinggalkan dan masuk menuju masa digital.

“Kalau dari kacamata Demajors, kita melihatnya bahwa semua itu adalah in-line itu semua adalah paralel, seperti rel kereta api yang selalu berdampingan ada yang dari barat ke timur, atau timur ke barat, kita tidak pernah mempunyai pemikiran analog sudah terlewatkan dan saat ini kita mulai masuk digital,” jelas David.

David juga kemudian menyimpulkan bahwa saat ini adalah proses menuju pematangan industri permusikan, semua orang siap untuk berperang, sehingga perdebatan analog dan digital sudah tidak bisa ada lagi, karena keduanya harus dihadapi.

“Sekarang ini menurut saya adalah bagaimana proses industri menuju pematangan, dan kita semua sudah siap untuk berperang, jadi sudah tidak bisa lagi memperdebatkan antara digital atau analog, dua-duanya harus dihadapi,” pungkasnya.

Industri permusikan memanglah sebuah industri yang selalu berkembang, mengikuti perkembangan pasar dan zaman adalah sebuah keharusan. Dari lokal sampai internasional, distribusi industri ini memang menuju pematangan. Namun, perdebatan tentang apa yang harus dilakukan sudahlah tidak relevan, karena pada akhirnya karyalah yang akan bertarung di garis depan.

Writer: Abdullah Arifin
TAGS:Opini
SHARE
Recommendation Article