Ambyar. Demikianlah perasaan masyarakat Indonesia ketika pada Selasa pagi (5/5), seniman besar Didi Kempot pergi untuk selama-lamanya. Sang maestro berpulang dengan meninggalkan sejumlah karya yang akan terus membekas di hati penggemarnya.
Dionisius Prasetyo memang lahir dari keluarga seniman. Ayahnya, Ranto Gudel, adalah pemain ketoprak di Jawa Tengah. Ibunya, Umiyati Siti Nurjanah adalah pesinden asal Ngawi, Jawa Timur. Dan masyarakat Indonesia telah duluan mengenal sang kakak, Mamiek Prakoso, lewat panggung dan acara TV Srimulat.
Didi mengawali semuanya dari bawah. Lepas SMA ia mengadu nasib dengan mengamen di Solo dan Jakarta. Dari situlah muncul nama Kempot, alias Kelompok Pengamen Trotoar, yang dibawanya sampai akhir hayat.
Didi mendapat momentum dari hits pertamanya ''Stasiun Balapan'' pada 1999. Saat itu, campursari yang dirintis Manthous dari Gunung Kidul, Yogyakarta, mulai mendapat penggemar. Campursari Manthous adalah penambahan bunyi dan nada dari alat musik modern ke dalam musik gamelan Jawa. Suara drum memberi dinamik mengisi progresi dan sinkop, dan suara elekton yang khas mengisi intro dan solo. Namun, kerangka lagunya masih gamelan Jawa.
Campursari Didi Kempot adalah sentuhan kencrung keroncong dan gendang dangdut, sesekali dimainkan dengan kendang Jawa, pada bangunan lagu pop. Namun, Didi berhasil keluar dari tipikal lagu pop Jawa yang dulu populer lewat Mus Mulyadi atau Is Haryanto. Perihal kencrung dan gendang, konon dua instrumen itu yang digunakan Didi ketika mengamen di Solo dan Jakarta. Siapa nyana ternyata itulah yang kemudian menjadi ciri khas musiknya.
Mobilitas Sosial
Salah satu kekuatan lagu-lagu Didi adalah tema yang konsisten, yang belakangan mengganjarnya dengan gelar ''The Godfather of Brokern Heart''. Pada lagu debutnya, dikisahkan sepasang kekasih yang berpisah di Stasiun Balapan, Solo. Tokoh ''aku'' adalah lelaki yang ditinggal kekasihnya yang ''jare lungo mung sedelok'' (katanya pergi hanya sebentar). Namun, bisa diinterpretasikan bahwa kekasihnya itu pergi berurbanisasi untuk bekerja menjadi buruh pabrik di Tangerang, asisten rumah tangga di Jakarta, atau bahkan menjadi pekerja migran di negeri jiran.
Perpisahan karena urbanisasi atau mobilitas sosial mewarnai lagu-lagu hits Didi di awal kepopulerannya. Titik transportasi menjadi lokus dan judul yang khas. Selain ''Stasiun Balapan'', sebut saja, ''Terminal Tirtonadi'' dan ''Tanjung Mas Ninggal Janji''. Walau tidak spesifik mengulas perpisahan, tema dan suasana yang sama terasa pada lagu ''Terminal Terboyo'', ''Cintaku Jauh di Lampung'', dan ''Cintaku di Kualanamu''. Konon, lagu ''Terminal Tirtonadi'' ditulisnya atas permintaan komunitas terminal kota Solo itu yang iri dengan popularitas Stasiun Balapan setelah didendangkan Didi.
Didi dengan tepat menangkap potret sosiologis perempuan Jawa yang harus mengadu nasib, meninggalkan kota asal untuk menyambung hidup dengan bekerja di kota-kota besar. Ongkos mengadu nasib itu begitu besar, termasuk ongkos percintaan yang ambyar.
Namun, harus diakui tidak semua lagu dengan tema ini menjadi hits, termasuk ''Solo Balapan 2'' yang adem-ayem di belantika musik.
Lelaki Budak Cinta
Selain tema cinta yang patah akibat urbanisasi dan mobilitas sosial, satu tema yang selalu sukses digali Didi adalah posisi lelaki yang menjadi budak cinta, menjadi korban dari hubungan cinta yang kandas. Lelaki (aku di dalam lagu) menjadi korban: ditinggal, ditolak, dilupakan, atau tak direstui orang tua si perempuan.
Ada kisah lelaki yang telah mencari kekasihnya hingga ke seribu kota, walaupun jumlah kota dan kabupaten di seluruh Indonesia hanya 514; atau janji yang dilupakan karena kondisi materi; atau seorang lelaki yang tiba-tiba dipamer kekasih baru oleh pasangannya. Lelaki itu digambarkan begitu rapuh, menangis, dan merana akibat cinta.
Memang tidak semua hits Didi galau dan kelabu. Lagu ''Cucakrowo'' dan ''Bojo Loro'' harus dicatat sebagai lagu dengan tema yang riang gembira, bahkan sedikit mesum.
Tema lelaki korban cinta ini mendapat respons luar biasa. Mungkin karena lagu ini menjadi katarsis bagi para lelaki yang dituntut selalu tampak kuat, tegar, dan haram menangis dalam konstruksi dunia patriarki. Lagu Didi kempot menjadi relung sepi tempat lelaki bisa menangis dan meratap, sesuatu yang tak mungkin dilakukannya di dunia luar.
Tema lelaki korban cinta dalam musik Jawa dapat kita temui lagi dalam lagu-lagu NDX aka Familia dengan suasana yang lebih kekinian, seperti ''jare nek ra Ninja, ora oleh dicinta'' (katanya kalau tidak naik motor Ninja, tidak boleh dicintai). NDX lebih berani menabrakkan kata dalam bahas Indonesia dengan bahasa Jawa.
Titik Balik
Sejak hits ''Stasiun Balapan'' 1999 hingga tahun lalu di permukaan Didi Kempot tampak sebagai penyanyi dengan audiens yang terbatas: orang Jawa dan kalangan tua. Titik tinggal landas Didi Kempot menjadi ikon musik Indonesia terjadi di era media sosial.
Adalah penyiar Gofar Hilman yang penasaran dengan kepopuleran Didi Kempot dan ingin membuat acara bersama. Gofar kemudian mencari kontak Didi Kempot melalui cuitan di Twitter. Kekuatan media sosial dan komunitas akhirnya menyambungkan Gofar dan Didi.
Dari situ akhirnya bergulir satu acara talk show dan mini concert yang digelar di wedangan (tempat minum teh) Gulo Klopo, Solo. Gofar semula mengira yang akan datang paling sekitar 50-an orang, ternyata membludak hingga sekitar 1.500 orang.
Acara itu membuka mata masyarakat bahwa Didi Kempot adalah musisi milik semua kalangan. Anak-anak muda hafal lagu-lagunya dan semangat berjoget. Dalam acara itu dan sesudahnya, banyak beredar di media sosial video laki-laki Sobat Ambyar yang menangis sambil berjoget merayakan air mata dan ambyarnya hati lewat lagu-lagu Didi Kempot.
Efek media sosial ini yang membawa Didi ke segmen pendengar yang lebih luas, yakni milenial di kota-kota besar dan orang-orang yang tidak terlalu paham bahasa Jawa. Tempat konsernya pun tidak lagi hanya di stadion, alun-alun kabupaten, atau studio TV, melainkan meluas ke tempat-tempat kekinian di Jakarta seperti M Bloc atau The Pallas SCBD.
Jalan hidup sepenuhnya rahasia Tuhan. Ternyata tinggal landas Didi pada 2019 adalah jalan memendaki menuju ke haribaan Ilahi. Pada puncak ketenarannya, ''Lord'' Didi Kempot meninggalkan kita. Jalan hidupnya semakin terasa indah, karena konser terakhirnya adalah konser amal untuk mengatasi Covid-19. Pesona Didi membuat acara selama tiga jam ini mampu menggalang dana hingga Rp 7 miliar lebih.
Selamat jalan, Didi Kempot. Ambyarmu abadi.
Sumber: Wikipedia | Kompas.com | hai.grid.id | YouTube Gofar Hilman