Pembahasan terkait royalti memang bukanlah cerita baru, terutama di Tanah Air. Banyak seniman, dan musisi yang telah memperjuangkan hak atas karya-karya mereka. Begitu juga dengan musik. Geliat pergerakan menyuarakan royalti kerap terdengar di seantero negeri.
Business Manager V Entertainment & VID (Virtual Indonesia Validation and Distribution), Ivan Edbert mengungkapkan bahwa menurut dirinya royalti adalah hak untuk semua pencipta seni dan baginya di Indonesia sendiri permasalahan terkait royalti ini masih belum terlalu jelas.
Kalau menurut gue gini, royalti itu adalah hak, hak semua pencipta karya seni apapun itu, bisa novel karya tulis, visual, gambar, musik, audio. Kalau di Indonesia memang peroyaltian ini belum clear, jelas Ivan.
Dirinya kemudian menambahkan bahwa edukasi tentang royalti ini masih sangat kurang, bahkan banyak sekali musisi yang masih belum mengetahui, walaupun hal tersebut adalah hak bagi mereka.
Banyak banget teman-teman yang mau menjadi musisi, even teman-teman yang sudah menjadi musisi pun, masih kurang edukasi tentang royalti ini, which is itu adalah haknya mereka,� sambungnya.
Ivan mengungkapkan bahwa baginya royalti adalah sebuah investasi seumur hidup, yang lahir dari karya seorang seniman.
''Kalau kita mau ngomong sumber penghasilan, dari point of view aku ini merupakan investasi seumur hidup ketika kita membuat karya seni sebenarnya,'' ungkap Ivan.
Bagaimanakah cara mendapatkan hak cipta?
Diana ''Fifi'' Silfiani, seorang pengacara yang sering mengurusi perkara industri hiburan dan termasuk di dalamnya adalah perkara hak kekayaan intelektual mengungkapkan, bahwa dari segi administrasi hak cipta dapat diakui dengan adanya fiksasi dan pengumuman.
''Kalo dari segi administrasi, untuk hak cipta yang pertama dengan fiksasi dan pengumuman itu sebenarnya hak cipta sudah secara deklaratif itu exist,'' jelas Fifi.
Fifi menambahkan bahwa bagi pencipta lagu yang ingin mendapatkan perlindungan hak cipta lagu dapat bergabung dengan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) untuk pencipta, diantaranya terdapat KCI (Karya Cipta Indonesia), RAI (Royalti Anugrah Indonesia), dan WAMI (Wahana Musik Indonesia).
''Kalo untuk perlindungan hak cipta lagu, sebagai pencipta lagu yang pertama itu bisa bergabung di lembaga manajemen kolektif untuk pencipta, di Indonesia ada tiga, ada KCI , RAI, dan WAMI. Tapi itu hanya untuk performing rights, jadi biasanya yang dikumpulkan oleh LMK berdasarkan konsensus proses substitusi adalah hak-hak yang ada di PP 56 (tahun) 2021,'' jelasnya.
Royalti di Indonesia, bagaimana kondisinya?
Candra Darusman salah satu pendiri dari LMK KCI, yang juga pernah bekerja di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) urusan hak kekayaan intelektual selama 18 tahun ini, mengungkapkan bahwa sistem royalti di Indonesia masih belum sempurna.
''Karena sepertinya sistem royalti di Indonesia ini, walaupun berjalan tapi belum sempurna,'' jelas Candra.
Mengapa dikatakan demikian? Karena berdasarkan data yang disampaikannya, pengumpulan royalti memang terus meningkat, terutama jika membandingkan dengan masa dimana dirinya mendirikan KCI pada tahun 1991.
''Kalau kita lihat dari segi pengumpulan royalti, jumlahnya itu meningkat terus. Tahun pertama KCI itu berhasil mengumpulkan 495 juta rupiah, namun sekarang royalti yang terkumpul di tahun 2019 kalau saya tidak salah itu 80 milyar rupiah,'' ungkap Candra.
Sayangnya kabar tersebut bukanlah kabar yang sepenuhnya menggembirakan, karena menurut dirinya potensi pengumpulan royalti seharusnya bisa jauh lebih besar daripada angka tersebut. Sehingga perlu adanya perbaikan terkait pembagian royalti yang terjadi.
''Jadi kalau ditanya perkembangannya bagaimana, ya meningkat dan semakin banyak yang mendapat. Namun potensinya ada jauh lebih besar daripada itu, apalagi kalau digabungkan lagi dengan potensi royalti digital di YouTube, Spotify, dan lain sebagainya. Masalah lain adalah pembagian royalti itu yang perlu diperbaiki lagi,'' sambungnya.
Apa saja yang harus dibenahi terkait royalti?
Candra menjelaskan bahwa baginya, terkait LMK ini masih perlu memperbaiki kerja sama yang disebut sebagai kerja sama satu pintu. Dirinya juga menyarankan LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) untuk menunjuk pelaksana dalam pengumpulan royalti.
''Hal terkait LMK itu perlu diperbaiki lagi, kerja sama satu pintu istilahnya. Kemudian juga harus ada pelaksana dari pengumpulan ini. Jadi dari LMKN ini harus menunjuk pelaksana untuk melakukan kegiatan collecting,'' jelas Candra.
Selain kedua hal tersebut, Candra juga menyampaikan bahwa kita harus memiliki sistem pusat data yang diperbaiki, karena Indonesia sendiri memiliki jutaan lagu yang digunakan. Maka menurutnya infrastruktur juga harus diperbaiki agar terdata dengan baik dan sempurna.
''Di samping itu juga sistem pusat data, maupun sistem data processing juga harus diperbaiki, karena kita berhadapan dengan jutaan lagu yang dipakai. Bahkan lebih dari itu, para pemiliknya juga harus di data secara baik dan ini belum sempurna. Jadi satu pihak kerja sama antara LMK harus diperbaiki juga sistem infrastruktur data juga harus diperbaiki,'' jelas Candra
Dia juga mengungkapkan, bahwa koordinasi antara LMKN dengan pelaksana yang akan mengumpulkan pendapat royalti juga harus berjalan dengan baik dan terawasi. Dirinya sangat mewanti-wanti agar tidak terjadi monopoli absolut.
''Harus diperbaiki lagi koordinasi antara LMKN, dengan pelaksana, juga dengan pengawasan, jadi LMKN ini juga harus diawasi, jangan diberikan monopoli absolut tapi juga ada pengawasan dari pemerintah untuk menjaga agar LMKN ini selalu bekerja di rel yang benar,'' ungkap Candra.
Tantangan terbesar dan solusi dalam mengatasi persoalan royalti di dalam negeri.
Menurut Candra, tantangan terbesar dalam mengurusi persoalan royalti yang pelik ini justru berangkat dari hal non-teknis. baginya seluruh pengurus baik LMKN, LMK, maupun pelaksana perlu mendapatkan kepercayaan dari publik, agar tidak menimbulkan kecurigaan.
''Kalau menurut saya (tantangan terbesar) justru non-teknis yaitu kepercayaan masyarakat, trust dan itu harus diraih oleh LMKN, LMK, maupun pelaksana PT. LAS (Lentera Abadi Solutama). Jadi tantangannya adalah meraih kepercayaan agar tidak ada kecurigaan, karena di Indonesia ini banyak korupsi ya,'' jelas Candra.
Dirinya bahkan memberikan solusi untuk mendapatkan kepercayaan tersebut, saran pertamanya adalah dengan menerbitkan pemeriksaan keuangan oleh akuntan publik yang dapat dipercaya.
''Caranya untuk meraih kepercayaan yaitu menerbitkan pemeriksaan keuangan oleh akuntan publik dan akuntan publiknya jangan sembarangan, jangan ecek-ecek, jangan akuntan publik yang bisa disetir,'' sambungnya.
Solusi kedua adalah seluruh anggota LMK harus memiliki forum dimana dapat saling menyalurkan aspirasi, demi kepentingan seluruh anggota yang ada.
''Kedua adalah anggota LMK juga harus punya suara, harus bersuara, jadi harus ada forum dimana LMK ini dapat menyalurkan aspirasinya agar LMK bekerja demi kepentingan para anggotanya,''
Harapan kedepannya?
Kondisi saat ini memang bisa dibilang sudah cukup lebih baik jika dibandingkan dengan masa lalu, namun hal tersebut masih jauh dari apa yang seharusnya didapatkan dan memperjuangkan hak itu diperlukan. Candra Darusman berkata bahwa kita masih memiliki harapan jika semua ingin maju bersama dan tidak ada parasit dalam ekosistem kita.
''Harapan saya jika kita terus berdialog untuk memperbaiki sistem dan saya rasa kalau semua memiliki keinginan yang murni untuk memperbaiki ekosistem kita, itu ada harapan kok kita semua bisa maju bersama, jangan ada parasit,'' pungkas Candra.