Jaipong dikenal sebagai salah satu identitas kesenian Jawa Barat. Tari ini lahir dari ide seniman asal Bandung, Jawa Barat yaitu Gugum Gumbira dan seniman asal Purwakarta yaitu H. Suwanda.
Tari pergaulan tradisional masyarakat Sunda ini diiringi dengan musik yang khas, yaitu terdapat alunan kendang, rebab, kulanter, ketuk, dan gong.
Tari Jaipong lahir pada 1979, yang berasal dari tepak topeng. Tarian yang awalnya tercipta di Karawang ini, dibawa oleh Gugum Gumilar ke Bandung.
Gugum membawa tari Jaipong ke Bandung pada 60-an dengan tujuan untuk mengembangkan tarian asal Karawang di Kota Bandung.
Jaipong dikembangkan berdasarkan kesenian rakyat yang sebelumnya sudah berkembang, di antaranya adalah Ketuk Tilu, Kliningan, dan Ronggeng.
Gerak-gerak seperti bukaan, pencugan, nibakeundan, gerak mincid dari beberapa kesenian menjadi inspirasi untuk mengembangkan Jaipongan.
Selain itu, gerak-gerak dasar dari Jaipong juga berdasar dari Ibing Bajidor, dan Topeng Banjet yang terdiri dari Tayuban dan Pencak Silat.
Di awal kemunculan, tari ini tak disebut Jaipong. Namun, disebut Ketuk Tilu, karena dasar tari Jaipong adalah pengembangan dari Ketuk Tilu.
Daun Pulus Keser Bojong dan Rendeng Bojong yang merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan, menjadi karya Jaipongan pertama yang dikenal oleh masyarakat.''
Setelah itu, muncul beberapa nama penari yang handal Jaipongan, di antaranya adalah Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dede Kurniadi.
Seiring berjalannya waktu, Jaipong banyak memberi pengaruh terhadap kesenian yang ada di Jawa Barat, seperti wayang, degung, kacapi Jaipongan, dan lainnya.
Pada 2021, Zulfi Akmansyah atau akrab disapa Bang Zoel yang merupakan pelukis asal Bandung, memperkenalkan Jaipongan lewat lukisan.
Karyanya itu dipajang di galeri seni Patlot Art and Painting. Hal itu dilakukan olehnya untuk mengenalkan tari Jaipong ke ranah yang lebih luas.