Faozan Rizal: Sinematografer Harus Punya Karakter, Signature untuk Gambar

Faozan Rizal: Sinematografer Harus Punya Karakter, Signature untuk Gambar

Posted: Jan 22, 2022

-

 

 

 

Sinematografer sekaligus sutradara Faozan Rizal sudah lebih dari 10 tahun berkecimpung di industri perfilman Tanah Air. Dia telah menjadi penata kamera puluhan film, mulai dari Ayat-ayat Cinta hingga Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta.

Menurut Faozan, ada beberapa hal yang dibutuhkan oleh seseorang apabila dia ingin menjadi seorang sinematografer. Hal itu diungkapkan oleh Faozan yang sedang berada di Berlin, Jerman, dalam wawancara dengan Eventori melalui sambungan telpon.

Sering jalan-jalan, sering memperhatikan jatuhan cahaya, sering jalan ke museum, sama punya ingatan yang bagus, karena ketika membaca skenario, kita seperti menggali ingatan tentang bagaimana sebuah peristiwa itu akan kita cahayai, ucap Faozan pada Selasa (16/2).

Kalau kita enggak sering jalan-jalan, enggak sering liat jatuhan cahaya, jadinya kita akan bingung sendiri di set ketika kita membaca sebuah naskah, sambungnya.

Seorang sinematografer bisa menentukan jatuhan cahaya sebagai karakter dari sinematografi. Sehingga, mereka harus punya karakter yang mencirikan karyanya.

Kita bisa pakai teori dari Eropa, misalnya yang ngomong 45 degree cahaya yang kena ke wajah itu beauty light, enggak masalah. Cuma, kita harus punya karakter, signature untuk gambar kita, kita kayak pelukis juga, jelas Faozan.

Pada pra-produksi film, sinematografer banyak berdiskusi dengan sutradara dan art director. Saat itu, mereka bertiga menganalisa skenario agar bisa memproyeksikan visualnya. Kemudian, lanjut ke tahap produksi hingga pasca produksi.

Pra-produksi kita analisa, produksi kita mencoba semua yang kita analisa dan rundingkan dengan sutradara kita wujudkan dalam gambar. Di pasca produksi, kita ada color grading dan sebagainya. Kita harus menentukan brightness seperti apa untuk proyektor (film) di Indonesia, tutur Faozan.

Faozan mengaku lebih memilih menjadi sinematografer film bergenre sejarah, karena bisa riset tentang cahaya di masa itu dan sumber cahaya pada waktu itu. Dia merasa punya banyak tantangan untuk film periodik.

Misalnya, film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta dan Kartini yang memiliki latar waktu yang berbeda. Faozan mengemas film itu dalam sinematografi modern, dengan gaya cahaya dan sumber cahaya pada masa itu.

Bagi Faozan, film dengan sinematografi paling bagus yang pernah dikerjakan olehnya adalah Sang Pencerah. Sedangkan untuk film lain, Bulan Tertusuk Ilalang garapan Garin Nugroho adalah film yang punya sinematografi paling bagus. Sebab, bisa membuatnya seolah-olah merasakan apa yang ada di film itu.

(Di film Sang Pencerah) kita benar-benar mau gambarin hitam putih. Dua-duanya enggak ada yang protagonis, antagonis. Kita enggak ngomong kyai yang nentang Dahlan antagonis. Ini tantangan buat kita, kita salah mem-framingkan atau salah ngasih cahaya pasti akan disalahkan membela Dahlan, ungkap Faozan

Lantas, apa tips dari Faozan Rizal untuk orang yang ingin menjadi sinematografer?

Baca buku apa aja, karena kita harus berhadapan dengan skenario yang bercerita tentang apa aja. Enggak mungkin kita mau bikin scene rumah sakit tahun 60-an tanpa tahu teknologi medicine tahun itu. Jadi, kita harus baca terus, bacaan itu bisa novel, dari situ kita terbiasa mengolah dramaturgi, imbuh Faozan.

Sayangnya, Indonesia enggak banyak museum, di Eropa banyak museum, kita bisa masuk buat lihat-lihat itu, sinematografi di mana kita merasakan aslinya, datang ke suatu tempat. Kalau kita punya banyak pengalaman tentang itu, gampang banget kasih lighting, lanjutnya.

 
 
 
 
 
 
Writer: Abdullah Arifin
TAGS:Artis / Talent
SHARE
Recommendation Article