Merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-77 tahun, saya berpikir untuk melihat perkembangan industri musik, khususnya skena underground melalui sudut pandang para pelaku.
Ini bermula dari banyaknya festival musik tahun ini, atau mungkin terlihat lebih banyak karena selama dua tahun terjebak pandemi, sampai akhirnya kita menganggap bahwa industri musik secara keseluruhan sudah ‘bebas’, dengan kata lain ‘merdeka’.
Saya berinisiatif untuk menghampiri salah satu gigs underground di bilangan Jakarta Timur, tepatnya di Jl. Pramuka. Ketika sampai di lokasi, saya langsung disuguhkan dengan tulisan di meja registrasi; “Dengan membeli tiket berarti mensupport keberlangsungan tempat dan panitia”. Hal ini membuat saya terenyuh, bagaimana mereka berharap hubungan timbal balik yang sehat dengan para penonton yang hadir.
Saya masuk ke venue, dan melihat hal yang sudah tak saya lihat selama kurang lebih 2 tahun; kedekatan antara penampil dan penonton, dan konsep ‘seadanya’ yang penting senang. Energi ini yang membuat saya merasa hidup kembali di tengah maraknya festival musik. Melihat para penampil yang saling menghormati dan menonton satu sama lain bagai menemukan oase di tengah gurun.
Malam itu saya juga punya kesempatan untuk mengobrol dengan salah satu penggagas acara ini. Oh iya, acara ini bernama “POP POPAN Vol.1” yang digagas oleh Soultrouble Gigs. Selain itu, Soultrouble Gigs juga membuat “DON'T STOP SKANKIN Vol.1”. Saya menanyakan apa yang akhirnya membuat mereka berani untuk membuat sebuah event, yang mungkin tak ada profitnya sama sekali untuk mereka.
Kemeriahan "DON'T STOP SKANKIN VOL.1" yang digarap Soultrouble Gigs. Sumber: Instagram @soultroublegigs
“Jadi, ketika kita melihat besarnya industri musik ini setelah pandemi, dan yang main di festival band-band itu aja. Sedangkan masih banyak di luar sana, band-band atau musisi yang ingin main di sebuah acara. Makanya, kita dari Soultrouble Gigs berusaha untuk memberikan ruang publik untuk teman-teman yang ingin bersenang-senang, tanpa ada sekatan apapun.” ujar Aby, salah satu penggagas Soultrouble Gigs.
Apa yang dikatakan Aby ada benarnya, bagaimana sekarang kita melihat para musisi ataupun band-band akar rumput yang kesulitan untuk menampilkan karyanya secara langsung. Tak usah bicara kualitas, koneksi dan ‘angka’ sekarang menjadi kunci penting bagaimana sebuah band atau seorang musisi bisa masuk ke dalam sebuah festival musik.
Ini menjadi sebuah antitesis dari geliat festival musik itu sendiri, bagaimana gigs skala kecil, atau underground, memberikan wadah atau ruang publik untuk mereka bersenang-senang meski dengan perlengkapan dan venue seadanya. Setidaknya, para musisi tersebut punya kesempatan untuk tampil.
Malam itu, beberapa nama yang menjadi perhatian saya adalah Cloud, Lucy dan Horseless Horsemen. Tiga band ini tampil apik dan mampu menarik perhatian penonton. Horseless Horsemen tampil dengan musik rock n roll mereka, dan mereka juga baru saja merilis single berjudul “Revelation” ternyata.
Sedangkan Lucy tampil meriah dengan setlist yang ada di EP mereka dan juga single terbarunya. Dikombinasikan dengan lagu-lagu cover dari Morrissey dan juga Oasis. Unit Britpop ini menjadi highlight pada malam itu.
Balik lagi, geliat skena underground dengan gigs kolektifnya sudah ada sejak dulu. Saya membicarakan ini dengan salah satu vokalis band Hardcore Punk, Dighole, yang bernama Alindra. Dia juga mengatakan bahwa gerakan yang dimotori kaum-kaum grassroot ini sebenarnya banyak dan sudah ada dari dulu, tapi perlahan menghilang karena tak ada hubungan timbal balik antara penonton dan keberlangsungan acara.
“Dari dulu sudah banyak sebenarnya, cuma ya lama-lama menghilang juga. Lo bayangin aja, yang bikin acara udah susah payah, yang dateng maunya gratis gara-gara acara kita kecil.” ujarnya yang memang juga salah satu pegiat gigs underground.
Ketika saya menyinggung soal ‘kemerdekaan’ untuk mereka, jawaban Alindra membuat saya berpikir sekaligus tersenyum kecut di saat bersamaan.
“Dibilang merdeka sih, industri musik kita merdeka. Tapi merdeka untuk siapa ya? Kalo menurut gue, saat dibilang musik di Indonesia sudah merdeka, sirkulasi yang main di festival bakal berputar terus sih. Nggak itu-itu aja. Tapi balik lagi, itu industri. Semua nyari keuntungan. Yang sangat disayangkan ya buat para pelaku ataupun penggiat musik-musik underground bakal gitu-gitu aja sih kalau belum ke-notice sama media atau wadah yang lebih besar lagi. Jadi, suka ga suka kita harus terima.” tambah Alindra.
Alindra bersama bandnya, Dighole, ketika tampil di gigs RUMBLE IN THE BAR. Sumber: Instagram @digfuckinghole
Untuk menyiasati kejamnya industri, banyak dari mereka yang akhirnya membuat panggung sendiri, untuk band sendiri, agar bisa dinikmati oleh orang banyak. Itu juga dilakukan oleh Alindra.
“Ya karena menurut gue pribadi, saat gue ga dapet panggung gue harus ciptain panggung. Pasar bisa diciptakan kalau kata ERK mah.” ucapnya sembari tertawa.
Saya yang masih penasaran mencoba untuk mengobrol lagi dengan Aby. Kali ini dengan topik yang sama dengan Alindra, yaitu ‘kemerdekaan’. Kita banyak mengobrol soal ini. Pandangan Aby, sebenarnya yang dibutuhkan musik indonesia sekarang adalah regenerasi. Saya mengaminkan hal itu, karena bisa kita lihat bagaimana band-band besar masih menguasai industri, sedangkan para newcomer tampak susah payah untuk menembus barier yang tercipta di industri itu sendiri.
“Menurut gue, musik di Indonesia ga akan merdeka kalau yang main itu-itu aja. yang organize itu itu aja, semua berdasarkan kedekatan karena teman. Kalau menurut gue, belum merdeka. Merdeka untuk siapa? untuk mereka yang sudah ada di zona amannya. Bagaimana regenerasi musik bisa tercipta kalau mereka masih berusaha menguasai semuanya?” ujar Aby.
Para pengisi acara dan pihak Soultrouble Gigs yang berfoto bersama setelah selesai acara. Sumber: Istimewa
Malam itu saya merasa bersyukur, bagaimana saya bisa ngobrol banyak hal dan mengetahui keresahan yang dialami oleh pegiat skena underground ini. Meski begitu, mereka tetap berani membuat sebuah pergerakan, dan memberikan wadah buat mereka-mereka yang memiliki keresahan yang sama. Tetap bersenang-senang, tetap bermusik dan berani tampil dengan karya masing-masing. Semuanya membaur dan tak ada sekat sama sekali.
Berkat mereka, akhirnya saya tahu tak semua orang, golongan, atau event sekalipun sudah merasa merdeka. Ada hal-hal yang mengganjal bagi mereka, dan disalurkan lewat gigs yang mereka buat sendiri. Sekali lagi, Dirgahayu Indonesia yang ke-77, sukses terus untuk Soultrouble Gigs dan gerakan kolektif yang sejenis!