"Criticism in music is a crucial step towards improvement, expanding perspectives, and inspiring growth within the art of sound."
Kurang lebih seminggu yang lalu, jagat Twitter sedikit heboh soal Reality Club. Baru saja merilis album berjudul Reality Club Presents…, rilisan tersebut justru dinilai sangat jelek oleh Adib Arkan dan Kamil di Twitter dan juga medium milik mereka. Fyi, mereka berdua adalah penulis yang kerap kali me-review sebuah album.
Nggak tanggung-tanggung, album tersebut dapat angka 3,9/10, which is itu jelek banget. Bahkan, dalam tulisannya tersebut Reality Club dianggap sebagai PH berkedok band karena konsep di album ini lebih mementingkan karya visualnya.
Bermula dari Twitter
Adib Arkan dengan username @kesenggolpelor pada tanggal 27 Juni 2023 nge-tweet “just listened to the album, it shud be easy to crush this piece of goofball into particles”.
Ternyata, tweet ini merujuk ke album baru Reality Club. Ini dibuktikan dengan quote retweet dari Adib yang intinya mengatakan kalau essay untuk album tersebut sudah selesai dan mendapatkan rating 3,9/10 dengan detail yang cukup oke.
Karena hal ini Twitter jadi ramai membahas album Reality Club Presents… tersebut.
Fathia Izzati Terpancing…
To be honest, ini agak disayangkan jika review direspon dengan mencampurkan perasaan. Kayaknya, Fathia Izzati sedikit ‘tertusuk’ dan sempat nge-tweet. Isi tweet-nya singkat, tapi kita bisa tau itu arahnya ke mana. Yep, dia nge-tweet “so bitter”.
Respon publik pasti langsung terbagi dua. Ada yang pro, ada yang kontra. But, menurut gue ini review yang bagus karena bisa memberi ruang diskusi. Walaupun ada beberapa yang ngasih sentimen ya, bukan argumen. Hehehe…
Sebenarnya, Siapa yang Berhak Mengkritik Album?
Kalau ngomongin siapa yang berhak mengkritik album, ini bisa jadi pembahasan yang panjang. Karena kalau ngomongin berhak, semua orang berhak kok. Tapi, apakah mereka punya kapabilitas untuk melakukan review? Nggak ada yang tau sebelum gue, lo atau siapapun membaca essay yang ditulis.
Nah, di sini gue bakal bilang dengan lantang kalau siapapun berhak mengkritik, dan me-review sebuah album. Baik dalam bentuk essay, lite article, ataupun sekadar tulisan di Twitter. Apalagi sekarang, udah era digital di mana semua orang bisa punya akses untuk mendengarkan album-album terbaru.
So, gue bisa bilang apa yang dilakukan Adib Arkan dan Kamil sah dan nggak salah sama sekali. Lo nggak harus jadi pemusik sekelas Ahmad Dhani kok untuk mengkritik sebuah album. Jurnalis, kritikus, casual listener, bahkan fans sekalipun berhak untuk mengkritik album musik.
Album Jelek Belum Tentu Nggak Laku
Serius! Angka dalam sebuah review album bukan patokan yang valid untuk menentukan apakah album itu laku atau nggak. To be honest, banyak kok beberapa album yang menurut review jelek, tapi gue suka. Ini karena angka tersebut nggak menjamin sebuah kenyamanan dalam karya, dalam konteks ini adalah musik. Kalau lo enjoy dengan karya tersebut, maka dengarkanlah.
Lagipula, review itu bisa nggak akurat dan masih bisa dibantah kok! Asal dengan argumen yang tepat ataupun dalam bentuk review lainnya ya. Fun fact, banyak juga review album di Pitchfork yang diedit satu dekade kemudian karena ternyata nggak relevan. Jadi ya, santai aja.
Adanya sosok Adib Arkan dan Kamil mungkin bisa jadi oase di tengah keringnya kritik terhadap album musik. Semoga aja ya…