Warna dari musik yang dibawakan Barasuara kali ini membuktikan bahwa pendewasaan adalah hal pasti akan ditemukan oleh setiap musisi atau band. Jauh dari kata rumit dan antemik jika dibanding lagu-lagu Barasuara sebelumnya, lagu ini justru terkesan sederhana namun tetap menyelipkan riff-riff khas Barasuara.
Dalam lagu ini, bentuk kedewasaan dari Barasuara dan haru pilu yang dirasakan tertuang di dalamnya. Ini juga dikatakan oleh Asteriska, salah satu vokalis dari Barasuara.
“Ada haru dan pilu menilik lagu ini tapi aku sangat menikmati segala proses pembuatan dan pendewasaan yang dijalani bersama Barasuara dan seluruh tim produksi, semoga kalian bisa ikut merasakannya.” ujar Asteriska dalam unggahan di akun Instagram pribadinya.
Kesedihan yang tertuang di lagu ini juga dirasakan oleh Iga Massardi, gitaris sekaligus vokalis Barasuara. Dia mengatakan bahwa proses terberat di lagu ini adalah saat menulis dan merekamnya.
“Lagu ini termasuk yang paling berat ketika ditulis dan yang paling sedih ketika direkam. Karena yang mati tak akan kembali.” ujarnya melalui akun Instagram pribadinya.
Jika didengar lebih dalam, “Fatalis” memang lebih sendu dari lagu-lagu Barasuara sebelumnya. Nada vokal, isian gitar dan bass, serta tabuhan drum cukup mewakili apa yang dirasakan oleh Barasuara. Ditambah ada beberapa bagian yang diisi oleh piano dan juga ambience yang makin membuat kesan lagu ini cukup dalam.
Saya sendiri ketika mendengarkan “Fatalis” merasa ini bukan seperti Barasuara era Taifun yang antemik, ataupun era Pikiran Perjalanan yang futuristik. Namun balik lagi, ini adalah salah satu proses pendewasaan dari Barasuara, dan ini akan terus berlangsung sampai waktu yang memutuskan mereka untuk berhenti dan bereksplorasi. Lebih dari itu, Barasuara berhasil membuktikan eksistensinya di industri musik Indonesia.
Satu hal lain yang saya suka dari lagu ini, ornamen-ornamen yang sayup terdengar sebagai pemanis di lagu ini, berhasil menambah energi di lagu ini.
Sekali lagi, selamat atas rilisnya “Fatalis”, Barasuara.