Suasana keriaan tak cuma ada di kota besar. Alam penggunungan pun kerap menjadi panggung bagi pergelaran event-event yang sarat nilai hiburan. Dieng Culture Festival salah satunya. Event ini banyak diminati, karena kekhasan venue dan konsep acaranya. Acara yang berlangsung di lereng Gunung Bromo ini menciptakan nilai lebih bagi kegiatan pariwisata nasional.
Pembangunan di bidang pariwisata, khususnya dikawasan pengunungan, memang tengah menjadi perhatian banyak pihak. Ini boleh jadi tak lepas dari meluasnya kesadaran akan posisi Indonesia sebagian Negeri Cincin Api, negeri dengan gunung api terbanyak didunia. Bahkan dari sekitar 400 gunung api yang tersebar sepanjang Sabang sampai Merauke, 130 di antaranya masih aktif dan memendam potensi bencana yang cukup besar.
Sungguhpun perlu disikapi dengan waspada, keberadaan gubung-gunung tersebut umumnya juga dirasakan sebagai sebuah kebanggaan. Berkat gunung-gunung api aktif itulah tanah air Indonesia kini memiliki kesuburan sekaligus keindahan yang berdaya saing tinggi. Gunung Semeru, misalnya, tak pelak disebut-sebut dalam situs www.worldin1001view.com sebagai satu dari delapan gunung terindah di dunia.
Bukan hanya Semeru, sejumlah gunung lain di Indoensia juga berpotensi tinggi memenuhi selera wisata pelancong global. Sebut saja Gunung Rinjani, Kerinci, dan Tambora. Selain ketinggian puncak-puncaknya yang menantang, kecantikan panorama di kaki-kaki gunungnya pun tak kalah menawan. Hanya saja, kawasan-kawasan yang disebut belakangan nampaknya memang masih kesulitan mendatangkan pengunjung.
Menurut catatan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), sepanjang tahun 2013 lalu Gunung Rinjani hanya dikunjungi oleh 19.000 wisatawan. Dari angka tersebut, sekitar 10.000 di antaranya warga asing dan 9.000 domestik. Jumlah itu berada cukup jauh di bawah jumlah pengunjung Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS) yang mencapai kesaran 550.000 orang, dengan proporsi 50.000 warga asing dan 500.000 domestik.
Angka di atas tentu mengisyaratkan betapa wisata pegunungan Indonesia memiliki pasar yang menjanjikan. Namun kesenjangannya juga menunjukkan potensinya belum digarap secara merata. Hal yang menjadi persoalan bisa diterka: kondisi infrastruktur yang timpang antarwilayah, intensitas promosi yang belum sama kuat di tiap-tiap kawasan, ragam atraksi wisata yang masih minim. Sudah sewajarnya di tahun 2014 ini pemerintah Indonesia mulai giat mempromosikan konsep Wisata Gunung Berapi. Sebuah konsep peluang oleh insan-insan kreatif di bidang event.
Wisata Gunung Berapi: Modal Tambahan Untuk Industri Kreatif
Ide utama dari Wisata Gunung Berapi adalah membangun pusat wisata yang terintegrasi di area gunung-gunung api Indonesia. Tujuannya tak lain demi memingkatkan arus kedatangan wisatawan, di samping memberdayakan perekonomian masyarakat local yang bermukim di kawasan tersebut. Konsep ini pula yang diangkat oleh Ukus Kuswara, Sekjen Kemenparekraf, dalam sebuah seminar bertajuk Kondisi Gunung Api di Indonesia Saat Ini yang digelar Februaru 2014 lalu.
Jika dapat digarap secara sistematis, Volcano Tour tentu akan menjadi event yang cukup berharga.
Dalam kesempatan itu Ukus Kuswara menyatakan keinginan pemerintah untuk membangun berbagai fasilitas yang menunjang kegiatan pariwisata, semisal penginapan, rumah makan, atau berbagai keperluan event kreatif lain yang bisa menguatkan daya tarik kawasan. Sayangnya, seperti terlihat dalam wacana yang beredar di media-media online, event kreatif tersebut galibnya masih diterjemahkan sebatas sport tourism saja.
Sebagaimana disampaikan Budi Brahmantyo dalam situs www.bakosurtanal.go.id, misalnya. Anggota tim Bimbingan Teknis Bakosurtanal ini mengajukan konsep Volcano Tour untuk menghidupkan Wisata Gunung Berapi. Volcano Tour adalah paket wisata yang mengajak wisatawan ber-hiking ria melewati tempat-tempat yang memiliki pemandangan khas gubung berapi, seperti kawah dan sumber air panas.
Jika dapat digarap secara sistematis, Volcano Tour tentu akan menjadi event yang cukup berharga. Namun harus diakui, event semacam ini terbilang tidak istimewa. Selain tidak menyuguhkan sesuatu yang unik, Volcano Tour bersifat amat terbatas karena hanya menyasar wisatawan yang menggemari kegaitan hiking.
Padahal meski kerap diidentikkan dengan outdoor sport, gunung-gunung berapi Indonesia nyatanya menyimpan potensi lain. Mereka memiliki keluasan lanskap yang dapat digunakan untuk berbagai jenis aktivitas wisata dan model event yang berbeda-beda. Dalam hal ini, Jazz Gunung dan Dieng Culture Festival menjadi contoh yang menarik.
Meluaskan Pasar, Membuat Signature Event
Tak hanya memamerkan keindahan alam Bromo sebagai dekorasi panggungnya, Jazz Gunung juga menampilkan kebolehan musisi-musisi jazz Indonesia yang kualitasnya bisa diadu dengan musisi-musisi luar negeri. Khalayak yang menonton pun tak terbatas dari kalangan pendaki saja, melainkan juga dari kalangan pecinta music atau peminat creative tourism pada umumnya. Hingga tahun keenam penyelenggaraannya Jazz Gunung memnag belum memiliki catatan pengunjung yang fantastis. Namun event ini dapat diharapkan untuk terus tumbuh menjadi tradisi kreatif baru di Gunung Bromo, bahkan juga Indonesia.
Demikian halnya dengan Dieng Culture Festival. Acara ini memadukan tradisi local pencukuran rambut anak gumbal Dieng dengan berbagai pergelaran seni modern. Dieng Culture Festival terbilang berhasil menjadi signature event bagi Dataran Tinggi Dieng. Keberhasilannya terukur jelas salah satunya dari jumlah pengunjung yang hadir. Biarpun baru digelar sebanyak lima kali, agenda tahunan ini telah mampu mengundang 25.000 wisatawan dalam kurun dua hari. Tapi bukannya sempurna, sebagian pengunjung tetap meminta pihak penyelenggara bekerja lebih cermat di tahun-tahun mendatang.
Besarnya minat khalayak terhadap cultural tourism semacam ini tentu menuntut adanya koordinasi yang amat jeli. Terlebih, menjadikan ritual adat lokal sebagai tontonan juga meruoakan tindakan yang berisiko. Warga yang terlibat bisa saja menjadi bahan eksploitasi alih-alih terberdayakan.
Seperti komentar Shadika, salah seorag pengunjung, kok rasanya nggak tega, ya, lihat anak-anak gimbal itu dicukur, diberi hadiah, tapi ditontonin kaya badut sirkus. Seenggaknya pengunjung itu dikasih tahulah biar nggak ambil foto seenaknya. Mereka (anak gimbal Dieng) itu kan manusia, bukan objek wisata, keluhnya.
Oleh karena itu, edukasi jelas merupakan muatan acara yang harus selalu diperhatikan oleh pihak penyelenggara event di gunung, baik edukasi bagi pengunjung maupun masyarakat lokal yang dilibatkan.