Merilis Album Fisik di Tengah Gempuran Era Digital, Worth It Nggak Sih?

Merilis Album Fisik di Tengah Gempuran Era Digital, Worth It Nggak Sih?

Posted: Jun 06, 2022

Semenjak munculnya layanan digital streaming, kita dengan mudahnya mengakses lagu-lagu terbaru sampai rilisan-rilisan legendaris. Untuk para musisi sendiri, hanya dengan membayar jasa Aggregator Digital, karya mereka bisa langsung masuk digital streaming platform dan sudah bisa diakses di seluruh dunia. Tapi ada satu pertanyaan mendasar soal ini, masih worth it nggak sih merilis album fisik?

Semenjak munculnya layanan digital streaming, kita dengan mudahnya mengakses lagu-lagu terbaru sampai rilisan-rilisan legendaris. Untuk para musisi sendiri, hanya dengan membayar jasa Aggregator Digital, karya mereka bisa langsung masuk digital streaming platform dan sudah bisa diakses di seluruh dunia.

Di lain sisi, beberapa musisi ataupun band masih aktif mengeluarkan rilisan fisik, entah itu CD, kaset pita, ataupun piringan hitam. Seperti The Panturas, unit musik asal Jatinangor yang tahun ini merilis piringan hitam untuk album “Ombak Banyu Asmara” bersama La Munai Records.

Atau beberapa musisi independen yang kerap merilis album fisik dalam bentuk CD ataupun kaset pita. Binar dengan EP bertajuk “Jalan Rindang Dua Tiga” juga keluar dalam bentuk kaset pita. Lalu ada Dirty Ass yang merilis album “Distopia” dalam bentuk CD.

Keberanian mereka dengan mengeluarkan rilisan fisik ini patut diacungi jempol. Tapi ada satu pertanyaan mendasar soal ini, masih worth it nggak sih merilis album fisik?

Kalau bicara soal nilai, rilisan fisik ini jauh lebih bernilai dan lebih ‘eksklusif’ dibandingkan rilisan digital. Untuk piringan hitam, harga jualnya berkisar di antara Rp750.000 sampai jutaan rupiah. Harga produksinya sendiri berada di angka ratusan ribu untuk satu vinyl saja. Mahal memang, namun dengan nilai eksklusivitas dan collectable item, hal ini menjadi pemicu para musisi untuk merilis rilisan fisik.

Lalu, rilisan fisik ini punya pasarnya sendiri. Para kolektor dan audio enthusiast biasanya lebih memilih mendengarkan lagu lewat CD, kaset pita, atau piringan hitam dibanding mendengarkan lewat digital platform yang biasanya sudah ada kompresi data. Untuk kualitas audionya sendiri, digital platform biasanya lebih ‘mendem’ dibanding rilisan fisik, kecuali digital platform yang punya layanan audio lossless.

Untuk para kolektor, rilisan fisik ini jauh lebih bernilai harganya. Contoh remehnya adalah, rilisan fisik ini bisa dipajang! Disusun rapi di lemari bisa memanjakan mata, kalau kepo soal lirik dan tim produksi, bisa lihat covernya. Kalau suka soal desain, bisa lihat artwork-nya dalam bentuk fisik. 

Bahkan, di Inggris penjualan rilisan fisik pada tahun ini meningkat pesat. Untuk piringan hitam, penjualannya ada di angka 42,9 persen. Lalu penjualan CD berada di angka 59 persen. Luar biasa bukan?

Walaupun penjualannya naik, menurut Rian D’Masiv sendiri hal ini tak akan mengubah fakta bahwa era sudah berubah. Penjualan rilisan fisik tak akan luar biasa seperti era 90-an.

“Era sudah berubah. Senaik-naiknya penjualan rilisan fisik, nggak menutup fakta bahwa penjualannya nggak sebesar dulu di era ‘90-an.” ujar Rian.

Ini juga didukung oleh data dari IFPI (International Federation of the Phonographic Industry). Sebagai organisasi yang mewakili kepentingan industri rekaman, IFPI menunjukkan adanya penurunan penjualan rilisan fisik dari tahun ke tahun. Pada tahun 2020, penurunan penjualan CD mencapai angka 11,9 persen. 

Tapi, pada tahun ini pendapatan dari rilisan fisik pada tahun ini mencapai 16,1 persen berdasarkan data dari IFPI. Ini menunjukkan bahwa rilisan fisik masih memiliki peminat.

Di Indonesia sendiri, ada sebuah acara bernama Record Store Day Indonesia (RSDI) yang tahun ini sudah dilaksanakan pada bulan April kemarin. Bisa dibilang, event ini adalah ‘lebaran’ bagi para pecinta rilisan fisik. 

Selain RSDI, salah satu surga para pecinta unit fisik adalah lantai basement Blok M Square. Salah satu toko musik di sana adalah Andi Twin Music. Pemiliknya, Om Andi, adalah salah satu kolektor rilisan fisik yang sekaligus berjualan rilisan dalam bentuk fisik.

Menurutnya, rilisan fisik makin kesini justru makin digemari oleh orang-orang yang berumur 40 tahun ke bawah. Bahkan dia juga bercerita bahwa ada anak umuran SMA yang beli kaset pita, meskipun dia tidak tahu cara memasangnya.

“Sekarang jujur makin banyak yang minat rilisan fisik, apapun itu. Apalagi umur SMA, kuliah, baru bekerja, biasanya ingin beli rilisan fisik terutama vinyl karena nilai estetik dan patut dikoleksi juga. Pokoknya umur 40 tahun ke bawah deh.” ujarnya saat ditemui di Blok M Square.

Untuk para musisi, merilis sebuah album fisik itu adalah hal yang penting. Karena sebenarnya tidak ada yang bisa menggantikan ‘sensasi’ punya barang fisik. Dalam hal ini, Rian juga mengungkapkan hal yang sama.

“Menurut kita, rilisan fisik itu seperti ijazah. Jadi kalo musisi belum punya rilisan fisik, kayak ada yang kurang gitu. Belum lulus lah.” ungkap Rian.

Jadi, rilisan fisik itu tetap punya nilai tersendiri bagi para musisi, terlepas dari era yang sudah berubah. Karena nilainya yang bukan sekadar keuntungan saja, tapi juga pertanda sebagai ‘ijazah’ untuk musisi ataupun band. Untuk para fans, nilai rilisan fisik ini bukan hanya soal prestige, tapi soal kedekatannya kepada sang idola dan ‘harta karun’ yang tak lekang oleh zaman.

Dari pemaparan di atas, rilisan fisik apapun bentuknya masih punya nilai tersendiri bagi para musisi maupun para penggemar. Jadi, masih worth it banget buat para musisi mengeluarkan album fisik, di tengah gempuran digital saat ini.

Writer: Cakra Mahardhika Kevlana
TAGS:Rilisan Fisik,Digital,Musik,Opini
SHARE
Recommendation Article