Meski ada Reza Rahadian, Marthino Lio Jadi Pemeran Utama di Film ''Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas''

Meski ada Reza Rahadian, Marthino Lio Jadi Pemeran Utama di Film ''Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas''

Posted: Jan 22, 2022

Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas yang memenangkan Golden Leopard pada ajang Locarno Film Festival akan tayang di layar lebar Indonesia. Film yang disutradarai oleh Edwin ini, diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Eka Kurniawan. Turut menggandeng para pemeran kenamaan Tanah Air yaitu Marthino Lio dan Ladya Cheryl juga turut dibintangi Reza Rahadian, Ratu Felisha, dan memperkenalkan Sal Priadi.

Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas yang memenangkan Golden Leopard pada ajang Locarno Film Festival akan tayang di layar lebar Indonesia. Film yang disutradarai oleh Edwin ini, diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Eka Kurniawan. Turut menggandeng para pemeran kenamaan Tanah Air yaitu Marthino Lio dan Ladya Cheryl juga turut dibintangi Reza Rahadian, Ratu Felisha, dan memperkenalkan Sal Priadi.

Film ini berkisah tentang Ajo Kawir, seorang jagoan yang tak takut mati. Hasratnya yang besar untuk bertarung didorong oleh sebuah rahasia yaitu, impoten. Ketika berhadapan dengan seorang petarung perempuan tangguh bernama Iteung, Ajo babak belur hingga jungkir balik, kemudian dia jatuh cinta. Akankah Ajo menjalani kehidupan yang bahagia bersama Iteung dan mampu berdamai dengan dirinya sendiri?

Edwin sang sutradara sekaligus penulis skenario bersama Eka Kurniawan, menjelaskan bahwa film ini mengusung tema toxic masculinity, yaitu suatu budaya yang memandang bahwa seorang lelaki tidak boleh terlihat lemah.

“Tumbuh besar di masa kejayaan rezim militer, cerita dan mitos mengenai heroisme dan kejantanan lelaki menjadi sangat familiar bagi saya. Kejantanan adalah tolok ukur kelelakian. Budaya toxic masculinity memaksa lelaki untuk tidak terlihat lemah dan masih sangat terpampang di Indonesia hari ini, di masyarakat yang seharusnya kini lebih terbuka pikirannya dan demokratis ketimbang di era 80-an dan 90-an. Saya melihat Indonesia berusaha keras mencoba untuk mengatasi rasa takutnya akan impotensi. Ketakutan yang membawa kita kembali ke budaya kekerasan yang dinormalisasi,” jelas Edwin.

Edwin kemudian juga menjelaskan bagaimana referensinya dalam menggambarkan film di era 80-an dan 90-an. Dirinya mengungkapkan bahwa sangat terpengaruh dengan imajinasi-imajinasi tontonan masa kecil yang tayang di televisi, serta menggunakan pita seluloid 16mm.

“Referensi saya tentang gambar sangat dipengaruhi oleh imaji-imaji yang terekam dalam berbagai acara TVRI seperti Flora dan Fauna, Sesame Street, hingga Si Unyil yang kebanyakan menggunakan medium pita seluloid 16mm. Bagi saya, 16 mm adalah representasi realita sehari-hari yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan dan ingatan saya terhadap periode 80/90an,” ungkap Edwin.

Untuk mencapai ekspektasinya, Edwin merasa bersyukur karena didukung oleh para produser dalam menggunakan pita seluloid dalam pembuatan film ini. Pita seluloid sendiri memang memiliki harga yang lebih mahal, jika dibandingkan dengan medium digital dan sulit didapat karena di Indonesia sendiri tidak memiliki laboratorium dan distribusi pita film 16mm, sehingga dirinya harus bekerja sama dengan laboratorium di Jepang.

“Tentu saja keinginan menggunakan pita seluloid dalam proses shooting film ini perlu didukung oleh para produser yang gigih dalam merealisasikannya. Pita seluloid, selain harganya yang sedikit lebih mahal dibandingkan dengan medium digital, di Indonesia tidak ada lagi laboratorium dan distributor pita film 16mm. Segala pengerjaan laboratorium harus dikerjakan di Jepang,” jelas Edwin.

Edwin kemudian menambahkan bahwa mewujudkan produksi menggunakan pita seluloid 16mm ini bukanlah hal yang mudah, terutama dilakukan di masa pandemi, namun hal tersebut tetap dilakukan guna mencapai tujuan bahwa setiap cerita dan karakter film perlu dituturkan secara unik.

“Sebuah pilihan yang tidak mudah mengingat segala sesuatunya juga harus dikerjakan dalam masa pandemi. Meiske Taurisia, dan Muhammad Zaidy selaku produser percaya bahwa setiap cerita, dan karakter dalam film harus dituturkan dengan caranya yang unik.” sambungnya.

Membahas tentang perannya, walaupun tidak besar di masa-masa 80an Marthino Lio yang merupakan kelahiran tahun 1989 ini mengungkapkan, bahwa dirinya merasa sudah hidup di zaman itu, serta menjadi bagian dari masa tersebut.

“Saya merasa saya sudah hidup di zaman itu saja, it’s everybody story but i have a part in it, ceritanya semua orang tapi disitu ada cerita gua juga, jelas Lio.

Kemudian ketika ditanya bagaimana perasaannya bermain peran dengan Reza Rahadian, Marthino menjawab dengan canda bahwa Reza bukanlah seorang aktor yang rakus, sehingga dirinya pun mendapatkan banyak ilmu dari Reza sendiri.

“Untungnya Reza bukan tipe pemain yang pemakan, justru dia banyak ngajarin, diskusi-diskusi,” jawab Lio dengan tawa.

Reza Rahadian kemudian juga memberikan tanggapannya terkait karakter pendukung yang dirinya perankan, dia mengungkapkan bahwa dia tidak pernah merasa khawatir mendapatkan peran apapun, baik itu peran utama, pendukung, maupun hanya sebatas cameo saja.

“Kalau soal being a supporting cast di film ini bukan yang pertama kalinya dan saya tidak pernah punya kekhawatiran mengambil peran, apakah itu peran utama, apakah itu supporting, apakah hanya muncul satu dua scene di dalam sebuah film, saya nggak punya insecurity itu,” jelas Reza.

Dirinya juga menambahkan bahwa dalam menerima sebuah peran yang terpenting adalah kesukaannya terhadap karakter yang akan diperankan, serta diriny akan menghormati segala kesempatan yang ada.

“Selama saya suka dengan karakter yang akan diperankan, saya menghormati kesempatan yang ada, menghargai karakternya aja sih, dan saya suka banget sama karakternya. Saya selalu bilang saya rasa saya beruntung dipercaya untuk bisa terlibat juga di film,” sambungnya.

Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, dapat disaksikan di bioskop Tanah Air mulai 2 Desember 2021. Palari Films menghimbau bahwa film ini berlaku untuk usia di atas 18 tahun, walaupun mendapatkan klasifikasi Dewasa (17+) dari Lembaga Sensor Film Indonesia.

Writer: Alvin Iqbal
TAGS:Artis / Talent
SHARE
Recommendation Article