Setelah pengumuman Justin Bieber menggelar konser di Jakarta, tiba-tiba banyak musisi internasional yang ikutan konser juga di Indonesia. Mulai dari Boy Pablo, Westlife, The Script, Lany, bahkan festival-festival musik juga turut menampilkan musisi luar negeri.
Saya pun pernah dua kali menonton musisi internasional di Jakarta. Pertama saya menonton konser Gun N’ Roses pada 2018. Jujur, konsernya megah banget. Lalu yang kedua, saya menonton aksinya FUR pada 2019. Meski dalam skala festival, mereka memberikan pengalaman yang berbeda dibanding menonton band tanah air. Bukan mengecilkan, tapi menurut saya karena jarangnya musisi internasional datang ke Indonesia yang menjadi daya tarik.
Tapi, sebenarnya apa sih yang membuat musisi luar negeri keroyo konser di Indonesia?
Kalau dilihat dari sisi pasar, banyak banget di sini yang suka dengan musisi-musisi internasional. Entah dari lagunya, atau dari parasnya. Sebagai contoh, seberapa heboh anak-anak muda ketika Justin Bieber mengumumkan akan ke Indonesia?
Para penggemar Justin Bieber yang dulunya mungkin masih SD, SMP atau awal SMA, sekarang sudah berkarir dan punya penghasilan. Tiket mahal? tidak juga. Demi idola, mereka pasti bilang itu worth it. Ini pernah dibahas di sini dan jawaban salah satu “Beliebers” itu adalah hal yang wajar.
Bahkan, menurut Anas Syahrul Alimi, seorang promotor dan juga CEO Prambanan Jazz, tren ini (datangnya musisi internasional) akan terus berjalan sampai 2-3 tahun ke depan. Dibanding kondisi sebelum pandemi, frekuensi tampilnya musisi internasional tahun ini melonjak naik.
“Menurut saya, tren ini akan terus bertahan sampai 2 atau 3 tahun mendatang ya. Ini bisa terjadi karena euforia. Habis pandemi, kangen nonton konser lagi. Musisinya juga kangen tampil, setelah ‘pingsan’ dua tahun” ujar Anas Syahrul Alimi.
Lalu adanya kepentingan dari musisinya sendiri. Justin Bieber, Westlife, The Script, dan Boy Pablo sedang melakukan tur, dan Indonesia menjadi salah satu tujuan mereka. Jika dilihat dari siapa yang datang, pasar mereka memang cocok di Indonesia. Tiket Justin Bieber saja sekian menit sudah ludes sampai-sampai mengadakan additional show alias tambah hari.
Kalau soal pasar, memang Indonesia sangat cocok dengan musik-musik pop. Ini mungkin berkaitan juga dengan orang Indonesia yang rata-rata tumbuh besar dengan musik pop yang mereka bawakan. Saya pun seperti itu. Tumbuh dengan musiknya Westlife, The Script, dan Justin Bieber walaupun cuma tahu lagu “Baby” dan “One Time”.
Kedekatan-kedekatan seperti ini yang sebenarnya membuat Indonesia menjadi sasaran empuk untuk memasarkan musisi internasional. Ditambah juga mudahnya orang Indonesia melakukan hal apapun untuk sang idola, atau biasanya disebut fans militan.
Tapi di lain sisi, saya merasa hal ini seperti lomba mencari keuntungan. Apalagi, ada desas desus pada tahun 2022 ini ekonomi global menurun akibat pandemi dan adanya perang antara Rusia dan Ukraina. Jadi, daripada nanti kesulitan lagi menggelar konser dan tur, tampaknya para musisi ataupun promotor akan memaksimalkan tahun 2022 ini.
Dari apa yang dijabarkan di atas, sebenarnya asal mulanya berawal dari beresnya pandemi. Ditambah rata-rata dari mereka sedang melaksanakan tur dunia. Lalu ada faktor lain seperti target pasar mereka memang berada di Indonesia, dan tipikal fans di Indonesia yang militan. Tiket baru rilis, sudah sold out. Mereka dapat duit, fans dapat pengalaman.
Mungkin, opini soal adanya kaitan dengan turunnya ekonomi global bisa menjadi sudut pandang lain soal ramainya musisi internasional tahun ini. Menurut kalian gimana?