From screen to reality, women take center stage, rewriting scripts and breaking barriers
Peran Dian Sastrowardoyo di film series terbaru Netflix yang berjudul Gadis Kretek berhasil menyedot perhatian banyak orang karena berhasil memainkan peran Daisyah atau yang biasa dipanggil Yah yang merupakan seorang anak dari pengusaha kretek terbesar di sebuah kota.
Angkat Perjuangan Wanita
Series yang memiliki 5 episode ini mengambil dua latar waktu berbeda antara tahun pasca kemerdekaan dan era 2000-an yang menitikberatkan pada kisah Daisyah dan perjuangannya.
Sebagai anak dari seorang pengusaha kretek Daisyah dipercaya untuk melanjutkan bisnis ayahnya namun dengan satu syarat, Daisyah tidak boleh memasuki ruangan dengan pintu berwarna biru karena disana merupakan tempat saus diracik dan kehadiran wanita di ruangan itu dikhawatirkan dapat merusak rasa dari kretek yang dijual.
Halangan yang dihadapi tidak membuat Daisyah atau yang biasa dipanggil Jang Yah menyerah kegigihannya melawan stereotip patriarki membawakan hasil ketika ia berhasil membuat racikan saus untuk kreteknya dan diberi nama Gadis.
Keberhasilan membuat kretek Gadis tidak serta merta membawa kesuksesan karena sial bagi Daisyah ia harus menghadapi tragedi di tahun 1965 yang membuat bisnis rokok milik keluarganya hancur lebur.
Alur
Mengambil dua latar belakang waktu yang berbeda antara tahun-tahun pasca kemerdekaan dan tahun 2000-an, Gadis Kretek bercerita tentang Lebas yang (Arya Saloka) mendadak diminta oleh ayahnya yang bernama Raja (Ario Bayu), pemilik pabrik kretek Djagad Raja yang sedang sekarat.
Jeng Yah (Dian Sastrowardoyo) merupakan sosok penting yang pernah menjadi bagian dari perjalan cinta Raja di masa lalu. Sebagai anak, tentu saja Lebas berusaha untuk mengabulkan permintaan terakhir ayahnya proses pencarian inilah yang menjadi garis merah dari cerita Gadis Kretek.
Meski memiliki dua timeline waktu yang berbeda tapi Gadis Kretek berhasil menyajikan jalan cerita yang tidak saling bertabrakan karena masing-masing timeline waktu memiliki ciri khas visual unik yang membuat penonton tidak kebingungan dan dibuat pusing.
Hal ini tentu saja berhasil membuat kita dapat menyelami lebih dalam perjalanan cinta dari Raja dan Jeng Yah serta perjuangan Lebas untuk mencari keberadaan Jeng Yah yang penuh dengan misteri perjuangan Jeng Yah di masa lalu.
Sinematografi
Dari sisi sinematografi, series Gadis Kretek berhasil menyuguhkan sajian visual yang memanjakan mata dengan penggambaran dua timeline waktu yang sesuai sehingga kita bisa membayangkan berada pada era yang diangkat.
Hal ini tentu saja dibantu dengan key visual yang mempertegas masing - masing timeline pada jalan cerita selain itu series ini juga berhasil memainkan palet warna dengan sangat apik.
Karakter
Urusan karakter, kayaknya buat lo yang udah nonton bisa langsung setuju kalo Dian Sastrowardoyo berhasil memerankan Jeng Yah dengan sangat apik dengan karakter yang lugas, tegas ditambah chemistry yang berhasil dibangun dengan Raja membuat kita terbawa pada getirnya perjalan kisah cinta antara dua sejoli ini.
Namun di tangah getirnya perjalan cinta antara Jeng Yah dan Raja kita juga disajikan dengan romansa yang terjalin antara Lebas dan Arum (Putri Marino) yang sangat manis.
Selain Dian Sastrowardoyo, pemeran lain yang wajib mendapat pujian adalah karakter Lebas yang diperankan oleh Arya Saloka yang berhasil memberi ruh dari episode satu hingga episode lima series ini sehingga kita bisa kembali menelusuri perjalanan cinta dan perjuangan Raja dan Jeng Yah.
Scoring
Terakhir, untuk urusan scoring series Gadis Kretek ini sejujurnya tidak berhasil memberikan kesan “wah” tapi bukan berarti jelek karena scoring di series ini terasa pas tidak kurang tidak lebih dengan proporsi yang seharusnya.
Itulah dia review gue tentang series Gadis Kretek yang berhasil membawa jagat sinema Indonesia “naik kelas” dengan sajian cerita dan visual serta sentuhan kritik tentang patriarki dan sejarah Indonesia di tahun 1965.