Dalam rangka menyambut terbitnya album penuh kedua The Panturas, mereka kembali melakukan petualangan menunaikan misi multikultural. Layar telah terkembang menuntun kapal ekspedisi mereka melanglang menuju dermaga berikutnya, singgel berjudul ''Tafsir Mistik''.
Lagu tersebut memperlihatkan corak musikal berbeda dari klab selancar rock kontemporer asal Jatinangor, Jawa Barat ini. ''Tafsir Mistik'' menghadirkan dramatisnya nada Melayu, yang dipadukan bersama harmoni gitar musik Gipsi yang unik, Arabik binti akrobatik.
''Tafsir Mistik'' menyuguhkan simfoni yang baru dan segar, tidak saja bagi para pendengarnya, tapi juga terhadap The Panturas sendiri. Mereka menantang kebiasaan lama membawakan nomor-nomor surf rock bertempo cepat dengan menciptakan sesuatu yang relatif lebih lambat, bahkan tergolong mendayu, dalam usaha meneladani langgam pop Melayu yang identik dengan nama-nama legendaris seperti DLloyd atau The Mercys.
Lagu ini termasuk salah satu karya The Panturas yang beritme paling pelan. Buat mereka, ini gaya baru, karena memainkan kord gitar yang terus berganti tangga nada.
Dengan intro Melayu lalu di bagian tengah dimasukkan karakter musik Gipsi atau Balkan. Kami tidak ingin menjadi monoton dengan menciptakan lagu-lagu surf rock yang puritan, ujar bassis Bagus Gogon Patria dalam keterangan pers yang diterima Eventori.
Django Reinhardt, seorang pemain gitar gypsy-jazz asal Prancis yang tersohor di era paska Perang Dunia II dengan karakter istimewa dua jari pada fret, mengilhami vokalis sekaligus gitaris Abyan Zaki Nabilio atau akrab disapa Acin, untuk menuliskan lagu ini.
Acin mengaku begitu terobsesi, sehingga dorongan kreatif yang timbul dirasakan bersifat personal. Dia yang membuat kerangka dasar, berkutat dengan solo gitar, pula memikirkan liriknya. Kata dia, melalui lagu ini, bandnya memastikan kalau surf rock juga mampu menerabas batas-batas klasifikasi sebagai suatu genre musik.
Semua bisa dijadikan surf, apa pun itu hidangan sampingannya, entah Melayu, jazz, blues, rockabilly, folk, indie rock, atau gambus sampai rancak keroncong sekali pun. Itulah yang sedang dilakukan The Panturas, bereksperimen menggado-gado berbagai jenis musik tanpa harus kehilangan ciri khas gitar surf yang twang.
Tidak heran Tafsir Mistik kemudian terdengar begitu sinematik sejak bunyi akordeon pada intro lagunya membelai telinga. Tujuan diciptakannya lagu itu agar orang-orang yang menikmati kelak bisa sejenak luwes berjoget, tidak melulu pogo.
Khusus mengenai lirik, Acin menggali keresahan yang tak kalah personalnya. Ia mengiris problematika sosial, terutama dengan banyak bertebarannya para pemikir karbitan era sosial media. Kehadiran mereka membuat kondisi semakin bias, semakin mengaburkan pemahaman akan makna nilai-nilai baru di masyarakat.
Yang merasa idealisme mereka paling benar. Tidak melihat kepada relativisme budaya. Bahwa benar atau salah itu tergantung dari kacamata kita masing-masing, bukan sesuatu hal yang mutlak. Daripada menghakimi, mendingan kita menghargai proses bagaimana mereka bisa mencapai pemahaman benar atau salah tersebut, jelasnya.
Inilah babak baru penulisan lirik bagi The Panturas. Apabila sebelumnya drummer Surya Fikri Asshidiq lebih banyak memegang peranan, mulai album kedua ini Acin turun tangan lewat sejumlah diksi yang menggelitik.
Pengaruh literasi terbesar Acin datang dari kegemarannya membaca karya sastra fiksi, yang dianggapnya medium terbaik untuk menyampaikan kenyataan. Sebagai contoh, penggunaan kata ruqyah, amuh, rakyu, atau mustakim. Bahkan, ia menemukan sebuah nomina anyar berbunyi swanirwana.
Sementara dari segi aransemen musikal, menurutnya ini merupakan lagu paling prima yang pernah diciptakan The Panturas. Keunggulan yang berasal dari keberanian untuk keluar dari zona nyaman lagu-lagu tipikalis surf rock yang kebut. Hal itu membuktikan jika mereka tidak stagnan, fokus melangkah maju dengan segala upaya pengaktualitasan karya.
The Panturas sudah tahu apa yang ingin mereka lakukan terhadap lagu-lagunya. Buah yang dihasilkan sudah matang, gue tinggal mengeluarkan sari-sarinya saja sebagai produser. Ketika berada di studio, satu-satunya hal yang mereka pikirkan adalah musiknya. Tidak ada hal lain, tutur Lafa Pratomo, yang dikenal sukses menangani lagu dan album Danilla, Polka Wars, Sal Priadi, Nadin Amizah serta Mondo Gascaro.
Selain mencapai level baru dalam penulisan musik, rilisnya singgel ini juga menafsirkan misteri perihal album penuh kedua The Panturas yang digadang-gadang bakal terbit pada pertengahan 2021.
Kami akan merayakan keragaman budaya. Ibarat sebuah kapal yang tengah mengarungi archipelago Nusantara, musik yang tersaji nomadik jenisnya, dari Broadway sampai ke Semenanjung Arab. Fusion dari surf rock, punk, garage, waltz, Mandarin, Balkan, hingga ritmik Melayu, pungkas Bagus Gogon Patria.